Thursday, November 13, 2008

Politisi di Layar Televisi: Citra dan Gaya

Beberapa minggu terakhir ini layar televisi dipenuhi oleh berbagai talkshow dan live show terkait dengan hingar - bingar pemilihan presiden AS. Hampir semua stasiun TV meliput - dalam prosentase yang cukup besar - berbagai kejadian dan acara yang terkait dengan pesta demokrasi di negeri Paman Sam tersebut. Barangkali ini merupakan hal yang biasa karena AS merupakan.... sebuah negara besar - bahkan merupakan negara adi daya satu - satunya saat ini - yang tentunya memiliki pengaruh sangat besar bagi semua negara - termasuk Indonesia - sehingga fokus liputan media - khususnya televisi - Indonesia merupakan hal yang wajar. Apalagi mengingat bahwa calon unggulan - yang akhirnya menang - mempunyai hubungan batin dengan negeri ini karena dia pernah menjadi "Anak Menteng" dimasa kecilnya.

Terlepas dari seriusnya liputan media televisi atas peristiwa tersebut ada satu hal yang menarik yang mungkin harus menjadi bahan renungan, referensi, atau bahkan teladan bagi bangsa ini - khususnya para politisi - yaitu tentang bagaimana para politisi negeri seberang sana sangat hati - hati dan wellprepared ketika tampil di layar kaca. Mulai dari ketika tampil dalam debat terbuka sampai dengan pidato - pidato ketika berkampanye mereka kelihatan sangat siap dan profesional.

Tetapi coba bandingkan dengan kebanyakan politisi kita - baik ketua dan pengurus partai maupun beliau yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Sekali lagi kebanyakan dan tidak semuanya. Bahwa yang nampak di layar kaca ketika mereka berdebat dalam suatu forum diskusi maka sepertinya esensi dari bahan pembicaraan tidak begitu penting karena kebanyakan dari mereka seperti hanya berlomba untuk "keras - kerasan suara" untuk "mengalahkan" lawan debatnya dibandingkan dengan memberikan argumen yang jelas dan logis untuk mempertahankan pendapatnya. Belum lagi ketika etika dalam menyela lawan bicara sudah tidak digubris lagi karena salah satu pihak terpojok maka makin kacau dan tidak bermutulah sesi debat yang mestinya ditampilkan secara elegan tersebut. Sungguh memalukan.

Belum lagi ketika proses pemilihan - khususnya eksekutif seperti pilkada - selesai berlangsung dan pasangan terpilih diumumkan maka - biasanya, sekali lagi biasanya - pasangan yang kalah akan selalu menuduh ada kecurangan dalam proses pencoblosan atau penghitungan kartu suara. Mereka - biasanya - beserta para pendukungnya akan melakukan demonstrasi menuntut penyelidikan atas kecurangan yang mereka tuduhkan tersebut dan bahkan menuntut diadakan pilkada ulang. Nah Lho.... Sepertinya bagi para politisi negeri ini semangat maju terus PANTANG KALAH sudah menjadi suatu keharusan. Dan itu dipertontonkan secara luas kepada publik dengan penuh kebanggaan melalui media televisi. Ketika menghadap kamera pihak yang kalah dengan semangat yang meluap - luap (atau emosi yang tidak terbendung - red) dengan background para pendukung akan lantang berkata "Kami tidak dapat menerima kekalahan ini karena kami mensinyalir adanya kecurangan - kecurangan dan seterusnya..."

Tapi coba bandingkan dengan Obama dan McCain dengan pasangannya. Meskipun dalam salah satu sesi debat sempat terjadi perdebatan yang panas tetapi secara umum proses kampanye dan sesi debat yang muncul di layar kaca nampak elegan dan tidak kampungan. Belum lagi ketika dengan sikap sportif McCain mengakui kekalahannya atas rivalnya - Obama - dihadapan para pendukung dan publik AS. Pun, Obama tidak pongah karena menang dan dengan penuh hormat dia menyampaikan penghargaan kepada MCain yang disampaikan dalam pidato kemenangannya - dihadapan publik dan ditayangkan dilayar kaca. Mungkin bisa kita simak bagaimana dia menyampaikannya secara indah dan penuh penghargaan sebagai berikut:

A little bit earlier this evening, I received an extraordinarily gracious call from Senator McCain. Senator McCain fought long and hard in this campaign. And he’s fought even longer and harder for the country that he loves. He has endured sacrifices for America that most of us cannot begin to imagine. We are better off for the service rendered by this brave and selfless leader. I congratulate him; I congratulate Governor Palin for all that they’ve achieved. And I look forward to working with them to renew this nation’s promise in the months ahead.

Mudah - mudah bisa menjadi bahan renungan, referensi dan teladan untuk menuju perubahan yang lebih baik. Jayalah Indonesiaku!

3 comments:

Inti Purnomowati said...

Semoga kita bisa belajar berdemokrasi ya pak, sehingga kita bangsa Indonesia bisa mjd bangsa yg besar dan tidak mau menangnya sendiri. Para wakil rakyat semoga bisa benar2 mewakili rakyatnya bukan mewakili golongannya. Lha dilihat banyaknya partai di Indonesia aja sudah menunjukkan kalo kita masih dalam tahap belajar berdemokrasi. Iyo gak?

IAI KAPd said...

Setuju Mbakyu....mestinya para politisi itu belajar dan juga ngaca diri dulu, kalau belum bisa bener2 menjadi wakil rakyat dan mengerti etika dan profesionalism dalam berpolitik mbok ya....jgn masuk ranah tersebut...??

Dgn seabreg partai sebenarnya bisa dihitung cost of economi yg hilang untuk non value Activities...bener nggak tuuh lis. Baik cost utk kampanye, waktu yg hilang utk organize partai yg hidup utk satu masa pemilu dll. Apa nggak sayang waktu dan dana itu khan bisa utk aktivitas yg lbh bernilai tambah....

Sulistyanto said...

Ya memang tidak dapat dipungkiri bahwa AS sendiri butuh waktu 200an tahun untuk bisa mencapai kondisi seperti sekarang ini. Tapi apa kita juga harus menunggu selama itu? Bukankah kita - mestinya - dapat mempersingkat proses belajar tersebut dengan mengadop hal2 baik dari "mereka" yang telah terbukti cukup berhasil? Bukankah kita bisa memproduksi pesawat terbang tanpa harus repot2 bereksperimen dan mengikuti semua langkah yang dikerjakan oleh si penemu pesawat terbang - Wright bersaudara - tapi cukup mengadop teknologi yang telah diciptakan? Dan ternyata terbukti berhasil khan? Jadi mestinya para politisi kita - yang sebenarnya pinter2 dan berwawasan luas - tidak egois dan memanfaatkan masyarakat kita yang kesadaran dan pengetahuan "berpolitiknya" masih relatif rendah - dengan cara mengadop saja hal2 baik dari "negeri seberang" sono yang telah terbukti berhasil. Jadi menurutku ini hanya masalah goodwill saja koq, mau ngga para politisi / pemimpin partai melakukan pembelajaran politik kepada masyarakat sehingga masyarakat kita akan lebih cepat "melek" politik. Karena bagi mereka masyarakat yang "awam" politik lebih menguntungkan daripada yang "melek" politik, karena lebih mudah "dikontrol" - atau dibodoh2in. So, demi kekuasaan kondisi ini mungkin yang paling menguntungkan, apalagi kalo tujuannya memang hanya jangka pendek saja dan untuk kelompoknya saja. Mungkin saat ini yang kita perlukan adalah politisi yang tidak saja pinter tapi juga punya hati nurani. Jadi lulusan terbaik universitas dalam atau luar negeripun bukan jaminan bahwa mereka akan jadi pemimpin atau wakil rakyat yang amanah. Tapi dimana nyarinya ya....?!