Sunday, September 28, 2008

WAJAH TELEVISI KITA: INTRIK, IRI, DENGKI DAN KEKERASAN

Sudah beberapa hari ini Zidan, anakku, liburan sekolah dalam rangka menyambut lebaran jadi aku ikutan nyantai karena tidak harus dropping dia ke sekolahnya sebelum ke kantor. Dia sendiri tampak sangat gembira karena liburan artinya boleh main games sepuasnya (biasanya hanya pada weekend saja). Tapi hari ini hari ini dia mulai kelihatan bosan dengan PS-nya dan mulai melototin TV seharian. Sebenarnya aku sudah menyediakan majalah dan beberapa buku kesukaannya tapi ternyata sudah ludes dibaca. Kalo ada buku baru pasti dia akan memilih membaca (asalkan buku atau majalahnya menarik) tapi untuk menyediakan yang baru artinya harus membeli – karena di sekitar tempat tinggalku tidak ada perpustakaan umum – padahal harga buku sekarang cukup mahal sehingga dalam sebulan aku hanya bisa membelikan beberapa buah buku dan majalah saja. Ini jadi masalah karena dengan tidak adanya kegiatan lain dia melototin kotak ajaib tersebut tanpa peduli acaranya menarik atau tidak. Yang jadi masalah adalah bahwa acara TV kita sekarang ini sebagian besar berisi sinetron yang tidak jelas kualitasnya atau acara gosip yang sama sekali tidak mendidik. Memang tidak semua sinetron yang ditayangkan TV kita jelek. Masih ada sinetron yang cukup bermutu dan mendidik seperti Para Pencari Tuhan (PPT)nya Deddy Miswar, tapi jumlahnya hanya segelintir saja. Alhasil aku jadi khawatir kalau ini akan berakibat negatif bagi dia. Sebab aku pernah membaca kalau memang telah terbukti bahwa ada relevansi antara kekerasan di televisi dengan perilaku anak – anak yang menontonya seperti yang disampaikan oleh Mary Whitehouse (pendiri dan Presiden dari the UK’s National Viewings and Listeners) dan Dr. Thomas Radecki (the National Coalition on TV Violence, USA). Mereka sepakat menyatakan bahwa ada bukti kuat apabila tayangan televisi yang mempertontonkan kekerasan dapat mempengaruhi perilaku anti sosial di kalangan anak – anak. Benarkah banyak acara televisi kita yang menayangkan kekerasan dan perilaku buruk lain yang dapat mempengaruhi anak – anak kita? Aku yakin kita akan serempak menyatakan dengan tegas ya! Walaupun aku tidak ingat betul judulnya (aku sendiri jarang menyempatkan nonton yang beginian, paling selewat saat browsing karena acara yang sedang kutonton sedang iklan – red) namun bisa aku nyatakan bahwa sinetron yang ada, baik sinetron anak – anak ataupun dewasa, temanya tidak jauh dari intrik – intrik dan persaingan yang mengedepankan rasa iri dan dengki yang disertai perbuatan licik serta penuh kekerasan. Setting-nya bisa dimana saja, baik dirumah, tempat kerja ataupun sekolah. Khusus untuk sinetron anak – anak, aku sering jengkel dan tidak habis pikir dengan para banyaknya produser yang mau invest pada sinetron murahan yang mengumbar kekerasan di kalangan anak – anak (dengan setting sekolahan – red) mulai dari SD sampai SMU. Coba tengok wajah sinetron kita saat ini yang isinya tidak jauh dari perkelahian dan persaingan antar geng sekolah karena urusan pacar atau bahkan perseteruan antar saudara karena warisan! Belum lagi gambaran tentang dandanan dan perilaku mereka yang sama sekali tidak realistis dan bertolak belakang dengan yang diterapkan di sekolah sebenarnya – come on, be realistic folks! Coba perhatikan rambut gondrong dengan cat warna – warni, rok mini dan baju yang dikenakan semaunya oleh anak – anak sekolahan di sinetron kita. Tidakkah ini akan mempengaruhi mind set anak – anak yang menontonnya sehingga mereka akan menirunya di dunia nyata – di sekolahan mereka – karena mereka akan menangkap bahwa yang mereka tonton itu adalah norma sosial yang ”lazim” dan ”seharusnya” diterapkan di kehidupan nyata mereka. Maka barangkali aku tidak terlalu mengada – ada apabila menyimpulkan bahwa fenomena ”Geng Nero” beberapa waktu yang lalu – yang diikuti dengan munculnya geng – geng lain yang sejenis di berbagai daerah – adalah salah satu efek dari tayangan – tayangan kekerasan di layar kaca keluarga Indonesia. Memang banyak sekali faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dan kita tidak dapat begitu saja menyalahkan tayangan televisi tetapi aku yakin bahwa tayangan sinetron kita sebagian besar tidak mendidik dan berkontribusi terhadap perilaku menyimpang dan merebaknya kekerasan di kalangan anak – anak kita. Yang aku tidak habis pikir adalah ngapain orang – orang yang duduk di lembaga sensor kita? Sementara untuk para produser sinetron murahan, sebegitu pentingkah keuntungan materi bagi mereka sehingga rela mengorbankan generasi penerus kita (mungkin termasuk anak – anak mereka juga – red). Atau ini merupakan efek dari UU pertelevisian kita yang menuntut 60% (kalau tidak salah – red) isi acara adalah buatan negeri sendiri sehingga stasiun – stasiun televisi kita ”terpaksa” dan ”berlomba – lomba” untuk memenuhi ketentuan tersebut? Aku tidak tahu pasti jawabannya dengan pasti. Sudah ah, aku mau ngajak Zidan jalan.