Friday, October 31, 2008

TELEVISI DALAM KEKUASAAN: KILAS BALIK SEJARAH TVRI

Sebagaimana disebutkan dalam posting terdahulu, media elektronik, terutama televisi, sangat erat berhubungan dengan Negara atau pemerintah yang berkuasa. Kondisi tersebut relevan dengan kondisi media di Indonesia yang ditunjukkan oleh kedekatan antara TVRI dengan pemerintah sejak awal berdirinya sampai saat ini. Meskipun TVRI pada mulanya merupakan sebuah lembaga non pemerintah, karena awalnya dibentuk sebagai sebuah yayasan, namun lembaga ini selalu dekat dengan pemerintah sebab sebagai yayasanpun TVRI berada dalam control Presiden. Dengan masuknya stasiun televisi pertama Indonesia ini ke dalam tubuh Departemen Penerangan maka makin kuatlah ikatan antara lembaga ini dengan pemerintah. Bahkan televisi swasta yang muncul pada tahun 1990-an juga mempunyai kedekatan dengan pemerintah pada taraf tertentu.

Tulisan ini membahas tingkat hubungan antara TVRI dengan pemerintah dengan menyoroti bagaimana pemerintah mampu membuat lembaga penyiaran tersebut sebagai sebuah alat pemerintah. Beberapa pendapat menyatakan bahwa TVRI telah digunakan sebagai sebuah alat pemerintah seperti terbukti dalam struktur organisasi, kebijakan pemerintah mengenai isi penyiaran, dan peluncuran satelit PALAPA.

TVRI sebagai alat pemerintah: beberapa bukti

Wahyuni, seorang dosen Universitas Gadjah Mada yang menekuni bidang komunikasi politik menyatakan bahwa stasiun televisi pertama Indonesia, TVRI, telah begitu dekat dengan pemerintah sejak berdiri pada tahun 1962. Ia menyatakan bahwa hal ini disebabkan oleh potensi televisi sebagai sebuah media untuk menyebarkan informasi.[1] Pendapat tersebut senada dengan pernyataan Herman dan Chomsky tentang kedekatan hubungan antara pemerintah dengan media, termasuk televisi, karena media dapat menjadi alat untuk membentuk opini publik.[2]

Hubungan erat antara TVRI dengan pemerintah Indonesia juga disampaikan oleh Kitley. Ia menyebutkan bahwa TVRI telah begitu dekat dengan pemerintah Indonesia sejak masa awal berdirinya. Pemerintah Indonesia telah begitu dalam terlibat dalam pengelolaan lembaga penyiaran ini sebab pemerintah melihat televisi sebagai bagian alat pembangunan.[3] Keterlibatan pemerintah yang luas dalam mengelola TVRI juga dibenarkan oleh Send an Hill. Mereka menyebutkan bahwa TVRI adalah media yang paling ketat dikontrol oleh pemerintah.[4] Pendapat - pendapat tersebut mengindikasikan kedekatan hubungan antara TVRI dengan pemerintah. Bahkan lembaga penyiaran tersebut dianggap sebagai sebuah alat pemerintah.

Berkaitan dengan isu tersebut, bab ini akan mendemonstrasikan bagaimana pemerintah telah menggunakan media televisi sebagai alat pemerintah sejak berdirinya di era Presiden Soekarno pada tahun 1962 sampai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada tahun 1998. Struktur organisasi TVRI, peluncuran satelit Palapa, dan kebijakan - kebijakan pemerintah mengenai isi program TVRI dipercaya menjadi tiga factor utama yang menjadi bukti pendapat tersebut.

Hal pertama yaitu mengenai struktur organisasinya. TVRI diketahui sangat dekat dengan pemerintah baik pada masa awal berdiri maupun sampai dengan masa berikutnya dimana lembaga penyiaran ini bahkan menjadi bagian dari Departemen Penerangan. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa TVRI menjadi sebuah alat pemerintah. TVRI didirikan pada tanggal 24 Agustus 1962 sebagai bagian dari persiapan penyelenggaraan Asian Games. Lembaga ini sendiri bukan bagian dari pemerintah tetapi merupakan bagian dari panitia penyelenggara pesta olah raga bangsa - bangsa Asia tersebut. Meskipun bukan merupakan bagian dari pemerintah, lembaga penyiaran ini sangat dekat dengan Presiden karena merupakan bagian dari Yayasan Gelora Bung Karno yang memang berada dibawah kendali Presiden secara langsung. Pada akhirnya bahkan televisi nasional tersebut menjadi bagian dari struktur organisasi pemerintah dengan masuknya ke dalam Departemen Penerangan.[5]

Mundurnya Presiden Soeharto pada tahun 1998 membawa kebebasan lebih bagi media, baik cetak maupun elektronik. Media cetak misalnya menikmati kebebasan dengan pencabutan SIUP (Surat Ijin Usaha Penerbitan).[6] Penerbitan sekitar 1000 surat ijin baru bagi radio swasta dan lima bagi televisi swasta dalam jangka waktu dua tahun menandai kebebasan tersebut.[7] Disamping itu, penghapusan Departemen Penerangan, dimana TVRI merupakan bagian daripadanya dibawah Direktorat Radio, Televisi, dan Film, nampaknya telah memberi kesempatan untuk pembebasan lembaga penyaiaran ini. Namun demikian harapan tersebut hanyalah sebuah ilusi belaka karena TVRI kemudian diubah menjadi sebuah perusahaan jawatan dibawah Menteri Keuangan dan di bawah supervisi sebuah Badan Penasihat yang bertanggung jawab terhadap menteri yang sama.[8] Hal ini memnunjukkan bahwa meskipun dalam era pasca Soeharto media memperoleh kebebasan yang lebih besar namun lembaga penyiaran nasional ini masih tetap dalam kontrol pemerintah.

Namun demikian, UU Penyiaran tahun 2002, yang disahkan oleh DPR pada 8 Desember 2002 membawa harapan baru bagi pembebasan TVRI dari status lama sebagai alat pemerintah karena UU tersebut memberikan mandat untuk mengubah TVRI menjadi sebuah lembaga penyiaran publik.[9] Sebagai respon dari UU tersebut maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2005 tentang Lembaga Penyaiaran Publik.[10] Akhirnya pada 24 Agustus 2006 TVRI secara remsi berubah menjadi sebuah lembaga penyiaran publik.[11] Tetapi terlepas dari status barunya tersebut, yang mestinya independen, ternyata peraturan tersebut masih memungkinkan adanya intervensi pemerintah terhadap TVRI karena dinyatakan bahwa TVRI berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.[12] Fakta ini menunjukkan bahwa TVRI telah begitu dekat dan terikat dengan pemerintah dan bahkan dengan status barunya sebagai sebuah lembaga penyiaran publik hubungan tersebut tampaknya tidak akan hilang begitu saja.

Bukti kedua yang mendukung pendapat terhadap pandangan yang menganggap TVRI sebagai alat pemerintah adalah peluncuran SKSD PALAPA. Pada 16 Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan satelit komunikasi domestik yang dinamai PALAPA. Nama tersebut berasal dari sumpah Maha Patih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit yang diucapkan pada tahun 1334. Dalam sumpahnya ia berkata:

Lamun humus kalah Nusantara, isun amukti PALAPA, lamun humus kalah Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana isun amukti PALAPA. (Aku tidak akan beristirahat sampai seluruh kepulauan telah disatukan, ketika Gurun, Seram, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang dan Tumasik telah bersatu maka baru aku akan beristirahat)[13]

Presiden Soeharto mengatakan bahwa nama tersebut dipilih karena PALAPA menjadi bukti bahwa sebelum masa kolonial Indonesia memiliki masa keemasan. Selain itu hal tersebut juga merefleksikan sebuah aspirasi bahwa satelit tersebut dapat menjadi alat pemersatu bangsa Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau dan untuk mencapai tujuan pembangunan yaitu masyarakat yang adil dan makmur.[14]

Namun, Kitley menyatakan bahwa tujuan peluncuran satelit tersebut adalah untuk memperoleh manfaat politik yang sebesar - besarnya dari pada untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.[15] Peluncuran satelit komunikasi tersebut memperluas cakupan siaran TVRI.[16] Disebutkan bahwa siaran TVRI dapat meliputi 82% dari seluruh penduduk Indonesia saat ini.[17] Dengan makin luasnya cakupan karena keberadaan satelit dan adanya monopoli atas media penyiaran ini, keuntungan politiknya jelas karena media penyiaran ini dapat menjadi alat untuk membentuk opini publik yang efektif. Sekali lagi usaha ini menunjukkan bagaimana pemerintah telah menggunakan kekuasaannya untuk membuat TVRI sebagai alat untuk kepentingan politiknya dengan cara memperluas cakupan siarannya ke seluruh Indonesia.

Untuk tujuan yang sama kebijakan pemerintah tentang isi siaran juga dipercaya sebagai bukti bagaimana pemerintah telah menggunakan TVRI sebagai alat pemerintah. Kebijakan tersebut meliputi aturan tentang iklan dan siaran program yang berisi pesan - pesan pemerintah. Terkait dengan kebijakan iklan, TVRI melarang penayangan iklan sejak tahun 1981, walaupun akhirnya aturan tersebut telah dicabut beberapa waktu yang lalu.

Ada dua alasan yang dikemukaan pemerintah tentang hal tersebut yaitu untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif siaran iklan dan untuk memaksimalkan penggunaan media ini guna mendukung program pembangunan. Dinyatakan bahwa iklan itu terlalu kebarat - baratan dan mendorong masyarakat untuk menghayal akan hal - hal yang ditawarkan iklan yang diluar jangkauan mereka sehingga TVRI harus melindungi masyarakat Indonesia dan fokus pada masalah pembangunan.[18] Dan yang terakhir adalah kebijakan mengenai isi siaran dimana dulu TVRI banyak menyiarkan program - program yang berisi pesan - pesan pemerintah seperti Siaran Pedesaan, Si Unyil dan Keluarga Rahmat.

Nah, bagaimana eksistensi dan kiprah TVRI dimasa mendatang? Akankah sebagai sebuah lembaga penyiaran publik dia akan berpihak kepada publik dan menjadi sumber berita yang independen sekelas BBC di Inggris, ABC-nya Australia atau PBS-nya Amerika Serikat? Semoga....



[1] Wahyuni, I., Hermin, Televisi dan Intervensi Negara: Konteks Politik Kebijakan Publik Industri Penyiaran Televisi (Television and State Intervention: Public Policy of Television Broadcasting in Political Contexts), Media Pressindo, Yogyakarta, 2000, 1 - 2.

[2] Jamal, Amal, 'State-Building and Media', 264.

[3] Kitley, Philip, 'Television, Nation, and Culture', 2000, 4.

[4] Sen, Krishna and Hill, T., David, Media, Culture and Politics in Indonesia, Oxford University Press, South Melbourne, 2000, 108.

[5] Kitley, Philip, 'Television, Nation, and Culture', 33 - 34.

[6] Idris, Naswil & Gunaratne, Shelton A., "Indonesia", in Gunaratne, Shelton A., Handbook of the Media, 286.

[7] Masindo cited in Kitley, Philip, 'Television, Nation, And Culture', 2000, 215.

[8] Kitley, Philip (Ed.), Television, Regulation and Civil, 2003, 111.

[9] Undang - Undang Republik, Chapter 3, Article 14.

[10] Peraturan Pemerintah Republik, 1.

[11] Asia Media, 'Indonesia: TVRI becomes public network', http://www.asiamedia.ucla.edu/article.asp? parentid=51738 (Accessed 13 September 2006).

[12] Peraturan Pemerintah Republik, 4.

[13] Sewindu PALAPA cited in Ibrahim, M., Daud, 'Planning and Development of Indonesia's Domestic Communications Satellite System PALAPA', Online Journal of Space Communication, URL: http://satjournal.tcom.ohiou.edu/ issue8/his_marwah3.html (Accessed 26 October 2006).

[14] "Apa Untung," Tempo (17 July 1976) cited in Ibrahim, M., Daud, 'Planning and Development'.

[15] Jamal, Amal, 'State-Building and Media', 264.

[16] French, David and Richards, Michael (eds.), Television in Contemporary Asia, Sage Publications, Thousands Oaks, 2000, 202.

[17] Sejarah TVRI (The History of TVRI), URL: http://www.tvri.co.id/sejarah.php (Accessed 17 October 2006).

[18] French, David and Richards, Michael (eds.), Television in Contemporary Asia, Sage Publication, London, 2000, 207.


Friday, October 17, 2008

TELEVISI, NEGARA DAN RUANG PUBLIK (PUBLIC SPHERE)

Ada banyak diskusi dan perdebatan diantara para cedekiawan dan para professional dibidang media mengenai hakikat dari hubungan antara media dan ruang public (public sphere).[1] Televisi khususnya juga telah menjadi subyek diskusi terkait dengan isu - isu tentang hubungan antara media dan ruang public. Tulisan - tulisan dari Harrington,[2] Ratzke,[3] Lewis,[4] dan Rawnsley dan Ming[5] adalah beberapa contoh studi yang membahas tentang hubungan antara isu tersebut.

Namun demikian isu yang berkaitan dengan hubungan antara Negara dan televisi kurang mendapat perhatian dalam diskusi - diskusi mengenai media. Diskusi yang menyoroti hubungan antara televisi dan negara biasanya hanya merupakan sebuah bagian dari diskusi dengan tema yang lebih luas tentang hubungan media dan negara. Karya - karya Jamal,[6] Champlin dan Knoedler,[7] Moy et.al.,[8] Lynch et.al,[9] dan Jakobowicz[10] adalah contoh tulisan yang membahas subyek tersebut.

Tulisan ini mencoba untuk melihat hubungan antara televisi dengan Negara dan juga fungsi televisi sebagai public sphere di Indonesia. Pertama - tama bagian ini akan meneliti tentang hubungan antara TVRI dengan negara untuk memahami posisi media ini apakah mewakili suara pemerintah atau suara publik. Kemudian bagian ini juga akan meneliti lebih jauh tentang berbagai isu tentang televisi sebagai public sphere khususnya terkait dengan acara - acara TVRI.

Televisi dan Negara

Media elektronik seperti radio dan televisi awalnya beroperasi dalam domain badan usaha milik negara. Hal ini terkait dengan pandangan kuno bahwa gelombang radio terbatas dan mahalnya biaya pengoparasian sebuah stasiun penyiaran.[11] Sebagai contoh The British Broadcasting Corporation (BBC) didirikan atas dasar pertimbangan bahwa frekuensi radio adalah sumber daya alam yang terbatas sehingga harus digunakan secara hati - hati untuk kepentingan nasional dan mencegah dari adanya penggunaan yang berlebihan.[12] The Australia Broadcasting Corporation (ABC) yang operasionalnya dibiayai pemerintah Australia merupakan salah satu cikal bakal stasiun televisi di negara kangguru tersebut. Keterlibatan negara dalam pembiayaan dan pendirian stasiun televisi tersebut diyakini terkait dengan pemikiran bahwa penyelenggaraan siaran televisi masih terlalu mahal bagi swasta.[13] Hal ini menunjukkan bagaimana media elektronik seperti radio dan televisi begitu dekat dengan pemerintah. Atas nama rakyatnya pemerintah mendirikan dan mendukung lemabaga penyaiaran nasional atau publik.

Kedekatan hubngan antara media dengan Negara juga dibenarkan oleh Herman dan Chomsky yang menyatakan bahwa selain kedekatan media dengan kekuatan pasar, media juga ditengarai seringkali mempunyai ‘hubungan dekat dengan negara' dan ‘mereka menjadi sebuah alat untuk membentuk opini'.[14] Lebih lanjut, Jakobowicz juga mendukung pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ‘negara...dan struktur yang berhubungan dengan Negara sangat sulit untuk melepaskan media'.[15] Hal ini tidak mengejutkan mengingat media memiliki kekuatan untuk membentuk opini public yang merupakan hal yang sangat penting bagi Negara.

Fenomena tersebut juga sangat jelas di ranah media Indonesia, terutama terkait dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Lembaga penyiaran ini telah mempunyai sebuah hubungan yang sangat dekat dengan Negara sepanjang sejarahnya sejak tahun 1962. Meskipun pada awalnya merupakan bagian dari Yayasan Gelora Bung Karno di bawah kendali langsung Presiden dan kemudian dibentuk sebagai Yayasan TVRI namun akhirnya TVRI ‘direkrut' sebagai bagian dari Departemen Penerangan pada tahun 1966 meskipun status hukumnya masih tetap sebagai sebuah yayasan.[16] Menjadi sebuah yayasan di bawah kendali langsung Presiden saja sudah menjadi indikasi kedekatan terhadap pemerintah. Apalagi dengan dimasukkannya TVRI sebagai sebuah institusi yang merupakan bagian dari pemerintah tentu saja makin memperkuat hubungan tersebut. Alhasil, TVRI dianggap lebih mewakili suara pemerintah dibanding suaranya sendiri yang merupakan manifestasi dari suara public.[17]

Dengan dibubarkannya Departemen Penerangan pada tahun 1999 dimasa pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid, TVRI dibebaskan dari departemen tersebut. Meskipun demikian kondisi ini tidak serta merta membebaskan lembaga penyiaran ini dari kekuasaan pemerintah karena statusnya berubah menjadi Perusahaan Jawatan dibawah Menteri Keuangan dan supervisi dari sebuah badan pengawas yang bertanggung jawab kepada menteri yang sama.[18] Hanya setelah terbentuknya Undang - Undang Penyiaran tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No. 13/2005 akhirnya TVRI menjadi sebuah lembaga independen, sebuah lembaga penyiaran public. Namun dengan status barunya tersebut tetap saja belum sepenuhnya membebaskannya dari pengaruh pemerintah yang berkuasa karena peraturan yang ada tersebut masih mengandung unsur yang memungkinkan intervensi terhadap TVRI. Hal ini menunjukkan bahwa kedekatan hubungan antara televisi, khususnya TVRI, dengan pemerintah sangat jelas tergambar di ranah media Indonesia.

Televisi dan Public Sphere

Konsep tentang (public sphere) pada awalnya diperkenalkan oleh seorang filosof asal Jerman, Jürgen Habermas. Ia mendefinisikan public sphere sebagai ‘sebuah ruang dari lembaga dan praktek yang berada diantara kepentingan pribadi yang terkait dengan kehidupan sehari - hari dalam sebuah masyarakat sipil dengan kekuasaan Negara. Ia yakin bahwa keberadaan public sphere sangat penting bagi sebuah masyarakat yang demokratis.[19] Lebih lanjut Habermas menjelaskan bahwa public sphere terdiri dari ‘lembaga informasi dan debat politik ... termasuk lembaga - lembaga yang mewadahi diskusi politik.'[20] Lembaga informasi ini merujuk kepada media massa. Sementara lembaga yang mewadahi diskusi politik adalah parlemen, organisasi politik, pertemuan public, dan ranah public lainnya dimana terjadi debat social-politik. Namun tulisan ini hanya akan berfokus pada media massa, khususnya televise, sebagai sebuah lembaga informasi dan arena debat public.

Pandangan Habermas yang berhubungan dengan pentinya media dalam sebuah masyarakat demokratis didukung oleh O'Neil yang menyatakan bahwa ‘media ... sangatlah vital terhadap pembentukan dan vitalisal sebuah masyarakat sipil; tanpanya kebebasan berkomunikasi yang merupakan pondasi demokrasi akan lemah.'[21] Karena ‘hanya warga Negara yang punya informasi bisa menjadi seorang warga Negara yang demokratis'[22] dan ‘[media] memainkan sebuah peran yang sangat penting dalam menyebarkan informasi'[23] sehingga peran mereka sangat penting bagi demokrasi.

Argumen tersebut didukung oleh Randall yang menyatakan bahwa

Untuk berfungsinya demokrasi, masyarakat sipil membutuhkan akses terhadap informasi sebagai alat untuk mengetahui pilihan - pilihan politik. Sementara para politisi membutuhkan media untuk menyampaikan pandangan - pandangan mereka dan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Media tidak berdiri sendiri dalam sebuah sistem sosial tetapi menyediakan saluran komunikasi para pelaku di dalamnya.[24]

Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa media sebagai bagian dari public sphere mempunyai dua fungsi yaitu sebagai sumber informasi dan sebagai tempat di mana warga Negara dapat melakukan perdebatan terhadap isu - isu yang menjadi perhatian mereka. Meskipun demikian kedua fungsi tersebut saling terkait dan sangat sulit untuk dibedakan karena dalam perdebatan juga terjadi pertukaran ide - ide dan informasi. Sehingga, penulis beranggapan bahwa media dapat dikatakan bertindak sebagai unsur dari public sphere ketika mereka menyebarkan informasi yang berkaitan concerns masyarakat atau ketika menyediakan ruang bagi perdebatan isu - isu public.

Sementara berkenaan dengan peran televisi sebagai public sphere telah ada beberapa studi yang telah dilakukan. Harrington, misalnya, mendiskusikan isu tentang public sphere di televisi Australia dengan mengambil obyek acara The Panel milik stasiun televisi Ten Networks. Ia menyimpulkan bahwa ‘progam tersebut mampu meningkatkan potensi dari debat ‘rasional-kritis' sehari - hari sebagai inti dari public sphere'.[25] Pendapat ini didukung oleh Kitley dengan merujuk kepada televisi dan public sphere di Indonesia. Ia menyatakan bahwa TVRI ‘membantu terciptanya public sphere yang makin luas.' [26]

Tetapi orang yang skeptis mempertanyakan efektifitas televisi dibandingkan dengan media cetak yang lebih mendalam liputan beritanya.[27] Hal ini mungkin karena sifat dari jurnalisme penyiaran yang cenderung singkat dan tidak mendalam karena keterbatasan waktu. Seperti dikatakan oleh pembawa acara Newshour di stasiun televise PBS, Robert McNeil yang mengatakan bahwa jurnalisme penyiaran ‘menjaga segala sesuatunya singkat, tidak mengganggu perhatian tetapi memberikan stimulasi konstan melalui keragaman, kekinian, aksi, dan pergerakan.[28]

Namun para pendukung televisi mempertahankan pendapat mereka dan meyakinkan tentang peran penting televisi sebagai public sphere.[29] Kellner, misalnya, menyatakan bahwa meskipun televisi mempunyai ‘kekuatan yang rendah ... TETAPI ... televisi, dan media komunikasi elektronik yang lain sedang menciptakan suatu public sphere bagi debat, diskusi, dan informasi.'[30] McNeil juga mencatat bahwa walaupun media cetak seperti surat kabar dapat menyajikan banyak berita tetapi kebanyakan pembaca hanya memperhatikan dan membaca yang disajikan secara mencolok saja. Sehingga dapat diajukan argumentasi bahwa peran televisi sebagai public sphere tetap penting dalam sebuah masyarakat demokratis yaitu sebagai sarana penyebaran informasi dan menciptakan arena bagi debat public.

Mengapa informasi begitu penting bagi demokrasi dan jenis informasi apa yang penting? Bagaimana informasi tersebut disebarkan melalui televisi? Dan debat public yang seperti apa dapat dilaksanakan di televisi? Merujuk pada pertanyaan pertama Junn menyatakan bahwa ‘pengetahuan politik adalah sebuah elemen penting dalam sebuah demokrasi'. Seorang pemilih yang mempunyai banyak informasi tidak hanya mampu memilih sesuai dengan keinginannya tetapi juga mampu melindungi kepentingan mereka.'[31] Sedangkan mengenai jenis informasi yang penting bagi demokrasi, Moy et. al. menyebut dua elemen yaitu informasi tentang berbagai organisasi dan kejadian - kejadian terkini.[32] Yang pertama menyangkut pengetahuan tentang struktur organisasi dan bagaimana organisasi politik berfungsi, sementara pengetahuan tentang kejadian terkini terkait dengan pemahaman terhadap para pemimpin dan tanggapan mereka terhadap isu - isu tersebut.

Dinyatakan bahwa program televisi seperti siaran berita dan talk show dapat melaksanakan peran tersebut. Program siaran berita adalah sebuah contoh dimana televisi berperan sebagai media penyebaran informasi. Sementara talk show seperti The Panel milik Ten Network mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber informasi dan arena bagi debat public. Hal ini membuktikan bahwa media elektronik seperti televise telah menjadi bagian penting dari sebuah masyarakat yang demokratis, yakni selaku public sphere.

Kebebasan Pers di Indonesia

Habermas mengatakan bahwa public sphere menerima kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam debat politik dan pengambilan keputusan.[33] Pendapat mengenai peran penting kebebasan pers dalam sebuah masyarakat demokratis juga dikemukakan oleh Jamal yang menyatakan bahwa ‘... sangatlah sulit untuk membayangkan adanya kehidupan berdemokrasi tanpa otonomi dari media'.[34] Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ini karena media memainkan peranan penting dalam menyebarkan informasi yang menghambat pemusatan kekuasaan dan memberikan bimbingan dengan interpretasi dari informasi yang disebarkan tersebut.[35] Sementara itu pendukung media yang lain terkait dengan isu mengenai public sphere bahkan menekankan bahwa sebuah masyarakat yang tidak ada kontroversi mengenai kebebasan berekspresi dan representasi adalah sebuah masyarakat yang sedang sekarat atau bahkan telah mati.[36] Maka hal ini makin menegaskan tentang peran penting kebebasan media dalam sebuah masyarakat demokratis.

Akan tetapi kebebasan media sebuah fenomena alam yang mudah untuk diciptakan dan dijaga karena potensi kekuatannya dalam mempengaruhi opini public. Sehingga selain publik banyak pihak lain seperti pemerintah, partai politik, dan organisasi swasta juga mempunyai kepentingan untuk menguasai media bagi kepentingan mereka. Pemerintah, misalnya, menganggap bahwa penempatan media dalam kekuasaan adalah sebuah prasyarat konstruktif yang turut andil bagi suksesnya proyek nasional.[37] Sementara itu partai politik dan lembaga - lembaga swasta menggunakan media untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi mereka. Alhasil kebebasan media atau pers adalah hal yang sangat sulit untuk dibuat dan dijaga demi kepentingan public karena adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik tersebut.

Sementara mengenai kebebasan media di Indonesia, terutama dalam bidang pertelevisian, dapat dikatakan bahwa media ini pada mulanya digunakan sebagai ‘alat pemerintah' namun dalam perkembangannya kondisi tersebut telah berubah dan dewasa ini berangsur - angsur menjadi bagian dari unsur public sphere. Pada masa awal terbentuknya TVRI pada tahun 1962, lembaga penyiaran ini berada di bawah Yayasan Gelora Bung Karno yang dikontrol langsung oleh Presiden untuk menyiarkan Asian Games IV di Jakarta. Setelah pesta olah raga Asia tersebut usai, TVRI diserahkan kepada Departemen Penerangan bersama - sama dengan RRI untuk menyuarakan suara pemerintah.[38] Kondisi ini terus berlanjut selama pemerintahan Presiden Soeharto dari tahun 1966 - 1998 yang dikenal sebagai masa Orde Baru. Dinyatakan bahwa ‘lembaga penyaiaran milik pemerintah yaitu TVRI dan RRI secara resmi ditugaskan untuk memproduksi berita dan menjalankan jurnalisme penyiaran yang terbatas hanya untuk kepentingan propaganda pemerintah.[39] Selama periode ini televisi berada dalam monopoli pemerintah terlepas dengan kemunculan stasiun televisi swasta pada tahun 1989.

Tetapi seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 1998, yang merupakan titik akhir masa Orde Baru dan titik awal masa Reformasi, kondisi media di Indonesia mengalami perubahan yang radikal.[40] Kemunculan lingkungan media yang lebih bebas tersebut juga dibenarkan oleh Idris & Gunaratne yang mengatakan bahwa ‘pada awal 1998 sebuah kebijakan media yang lebih bebas tengah terbentuk di Indonesia'.[41] Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa peraturan baru mengenai media telah menghapuskan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari Undang - Undang Pers dan secara otomatis membuka jalan bagi munculnya kembali pers tanpa ijin penerbitan. [42]

Sebagai akibat dari deregulasi tersebut Kitley mencatat bahwa terdapat lebih dari 1200 peijinan baru yang dikeluarkan bagi media cetak pada tahun 1999 dan media elektronik juga menikmati hal yang sama secara proporsional.[43] Pembebasan terhadap media elektronik, khususnya televisi, juga terjadi dengan ditandai oleh penerbitan perijinan baru bagi stasiun radio dan televisi. Dilaporkan bahwa ada sekitar 1000 surat ijin baru bagi stasiun radio komersial dan lima buah bagi stasiun televisi swasta dalam waktu dua tahun.[44] Stasiun televisi swasta yang baru muncul adalah Metro TV, Lativi, Global TV, TransTV, and TV-7. Disamping itu Undang - Undang Penyiaran tahun 2000 memperkuat argument tentang kondisi kebebasan tersebut karena peraturan tersebut merubah status TVRI dari sebuah lembaga penyiaran pemerintah menjadi sebuah lembaga penyiaran publik.[45]

Fakta - fakta tersebut telah menunjukkan bagaimana kebebasan media telah berubah di Indonesia, dari yang semula sangat dikekang oleh pemerintah menjadi pers bebas. Baik media cetak maupun elektronik sama - sama menikmati kebebasan tersebut dan bahkan TVRI yang semula merupakan media milik pemerintahpun berubah menjadi sebuah lembaga penyiaran publik. Tetapi bagaimanakah proses tersebut bisa terjadi? Posting akan datang penulis akan mencoba membahas perkembangan TVRI dari awal berdiri sampai masa kini, untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap isu tersebut secara keseluruhan.



[1] Harrington, Stephen, ‘The Democracy of Conversation: The Panel and The Public Sphere', Media International Australia incorporating Culture and Policy, No. 116, August 2005, p. 75.

[2] Harrington, Stephen, ‘The Democracy of Conversation'.

[3] Ratzke, Dietrich. ‘From movable print'.

[4] Lewis, Tom, ‘Democracy, Free Speech and TV: the case of the BBC and the ProLife Alliance', Web JCLI, Issue 5, 2004, URL: http://webjcli.ncl.ac.uk/2004/issue5/tlewis5.html (Accessed 10 August 2006).

[5] Rawnsley, Gary D., and Ming-Yeh Rawnsley. ‘Public television and empowerment in Taiwan.‘ Pacific Affairs, Vol. 78, No.1, Spring 2005.

[6] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 262 - 263.

[7] Champlin, P., Dell and Knoedler, T., Janet, ‘The Media, the News, and Democracy: Revisiting the Dewey-Lippman Debate', Journal of Economic Issues, Vol. XL, No. 1, March 2006.

[8] Moy et.al., ‘Knowledge or Trust? Investigating Linkages between Media Reliance and Participation, Communication Research', Vol. 32 No. 1, February 2005.

[9] Lynch, G., Patrick, ‘A Little Knowledge Is a Dangerous Thing: What We Know about the Role of the Media in State Politics', Perspectives on Political Science, Vol. 92, No. 2, Spring 2000.

[10] Jakobowicz, Karol, ‘Media Within and Without the State: Press Freedom in Eastern Europe', Journal of Communication, Vol. 45, No. 4, 1995.

[11] Ratzke, Dietrich. 'From movable print'.

[12] Tracey, M., The Decline and Fall of Public Service Broadcasting, Oxford University Press, 1998, 53.

[13] Curthoys, Ann, Australia's first cold war, 1945-1959 v2: Better dead than red, George Allen and Unwin, 1984, 123.

[14] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 264.

[15] Jakobowicz, Karol, ‘Media Within and Without the State', 126.

[16] Kitley, Philip, ‘Television, Nation, and Culture in Indonesia', Ohio University for International Studies, South East Series, No. 104, Athens, 2000, 34 - 35.

[17] Budiman, Andy, ‘Indonesia's Broadcasting of today'.

[18] Kitley, Philip (Ed.), Television, Regulation and Civil Society in Asia, RoutledgedCurzon, London, 2003, p. 111.

[19] Habermas, Jurgen cited in Kellner, Douglas, ‘Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention', URL: http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html (Accessed 9 August 2006).

[20] Kellner, Douglas, ‘Habermas, the Public Sphere', and Democracy: A Critical Intervention', URL: http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html (Accessed 9 August 2006).

[21] O'Neil cited in Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.

[22] Ratzke, Dietrich, ‘From movable print to pay TV'.

[23] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.

[24] Randall cited in Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.

[25] Harrington, Stephen, ‘The Democracy of Conversation', 75.

[26] Kitley, Philip, ‘Televisi Bangsa Baru: Television, Reformasi and Renewal in Indonesia' Media International Australia incorporating Culture and Policy, No. 104 - August 2002, 93.

[27] Moy et.al., ‘Knowledge or Trust?', 63.

[28] Lynch, G., Patrick, ‘A Little Knowledge Is', 94.

[29] Culbertson & Stempel cited in Moy et.al., ‘Knowledge or Trust?', 63.

[30] Kellner, Douglas, ‘Habermas, the Public Sphere', [emphasis in original].

[31] Junn cited in Moy et.al., ‘Knowledge or Trust?', 63.

[32] Moy et.al., ‘Knowledge or Trust?', 63.

[33] Kellner, Douglas, ‘Habermas, the Public Sphere', [emphasis added]

[34] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.

[35] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.

[36] Keane cited in Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.

[37] Caspi and Limor cited in Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 264.

[38] Kitley, Philip, ‘Televisi Bangsa Baru', 22 - 23.

[39] Budiman, Andy, ‘Indonesia's Broadcasting of today'.

[40] Kitley, Philip, ‘Televisi Bangsa Baru', 93.

[41] Idris, Naswil & Gunaratne, Shelton A., ‘Indonesia', in Gunaratne, Shelton A., Handbook of the Media in Asia, New Delhi; Thousand Oaks, California: Sage Publications, 2000, 285.

[42] Idris, Naswil & Gunaratne, Shelton A., ‘Indonesia', in Gunaratne, Shelton A., Handbook of the Media, 286.

[43] Kitley, Philip, ‘Televisi Bangsa Baru', 93.

[44] Masindo cited in Kitley, Philip, ‘Television, Nation, And Culture', 2000, 215.

[45] Undang - Undang Republik, Chapter 3, Article 14.



Wednesday, October 8, 2008

SMS: Information, Lies and Forgiveness

Membaca judul ini mungkin anda bertanya - tanya atau bisa jadi anda sudah bisa menebak ke mana arah topik kita kali ini. Bulan Syawal belum berlalu, sehingga nuansa lebaran masih sangat terasa. Salah satu tradisi yang lekat dengan lebaran adalah saling bermaaf - maafan dengan kerabat, teman ataupun tetangga. Prosesinya sendiri bisa dilakukan secara langsung, face to face, atau melalui media lain seperti kartu lebaran, parsel, video call, telepon dan yang sangat lazim sekarang adalah melalui SMS.

Berbicara mengenai SMS dan lebaran rasanya masih relevan saat ini karena biarpun lebaran telah berlalu namun nuansanya masih terasa. Terkait masalah SMS dan lebaran tentunya masih ingat benar bagaimana crowded-nya traffic SMS pada hari H dan beberapa hari setelahnya. Fenomena ini menunjukkan betapa SMS telah menjadi salah satu media komunikasi yang sangat penting dalam kehidupan kita, apalagi dalam masa lebaran, dimana komunikasi menjadi makin intens.

Tetapi hanya sebatas itukah arti penting SMS sebagai sarana komunikasi? Jawabannya mungkin adalah tidak. Karena beberapa keunggulan fitur SMS, seperti kepraktisan dan murahnya biaya ber-SMS, maka media ini menjadi primadona bagi banyak orang di banyak negara. Tidak saja dibidang sosial seperti untuk tujuan silaturahmi seperti pada saat lebaran,namun SMS juga ditengarai mempunyai peran penting dalam bidang ekonomi dan bahkan beberapa literatur menyebutkan peran SMS dalam bidang politik. Di Philipina sebagai contoh, SMS ditengarai mempunyai peranan penting dalam proses penggulingan rezim Presiden Ferdinand Marcos. SMS, atau juga dikenal dengan istilah texting, kala itu menjadi sarana komunikasi diantara ribuan aktivis politik dalam kegiatan pengerahan massa dalam berbagai kegiatan demonstrasi menentang rezim yang berkuasa saat itu. Alhasil, Marcos tumbang.

Sementara dalam bidang ekonomi, saat ini SMS merupakan lahan dan media bisnis yang sangat menguntungkan. Bagi provider, yakni penyedia layanan SMS seperti Telkomsel dan Indosat, SMS jelas merupakan lahan bisnis yang sangat menguntungkan karena cost per SMS-nya, menurut perhitungan beberapa pengamat telekomunikasi, sebenarnya kecil sekali dibandingkan harga jual saat ini sehingga mereka memperoleh margin yang sangat besar. Apalagi melihat jumlah traffic-nya saat ini yang begitu besar seiring dengan makin besarnya pengguna telepon seluler (yang nota bene sebagian besar menggunakannya untuk lebih banyak ber-SMS dari pada menelpon atau akses data Internet) sehingga SMS merupakan sebuah produk yang sangat menggiurkan.

Sementara itu fenomena layanan content via SMS dengan tarif premium adalah sisi lain dari bisnis yang satu ini, yang disorot oleh banyak pihak sangat menguntungkan provider tetapi merugikan konsumen. Selain itu disinyalir ada beberapa layanan yang dituding sebagai produk judi terselubung. Mengenai layanan ini sebagai contoh adalah berbagai macam quiz yang iklannya berlalu lalang setiap menit di layar televisi. Dengan iming - iming berbagai macam hadiah, mulai dari uang ratusan juta rupiah sampai mobil mewah, masyarakat di bodohi untuk menjawab "dumb questions" (anakku saja sering berkomentar "koq gitu aja ditanyain sich"-red)dengan mengirim jawaban via SMS bertarif premium seharga Rp.2000an. Selain itu ada juga produk content berlangganan yang "merampok" pelanggan karena fasilitas "unreg"nya ternyata tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga kalau pelanggan sudah terlanjur mendaftar layanan tersebut tidak bisa atau sulit sekali untuk membatalkan langganan layanan content tersebut. Alhasil pulsanya habis dirampok setiap hari oleh provider layanan tersebut.

Melihat fenomena tersebut maka sebagai konsumen kita mesti lebih cerdas dalam menggunakan layanan SMS, karena SMS memungkinkan untuk membawa dampak positif atau negatif tergantung bagaimana kita menggunakannya. Mungkin produk ini bisa diibaratkan seperti sebuah pisau yang bisa mendatangkan bahaya atau manfaat tergantung siapa yang memegangnya. Apabila dipegang oleh seorang perampok tentu bahaya yang akan ditimbulkan namun apabila dipegang seorang pamahat keindahan yang akan dihasilkan. Yang pasti, selama lebaran SMS telah menjalin silaturahmi jutaan orang dengan menebarkan maaf yang diuntai dalam beragam rangkaian kata. BIARPUN TANGAN TAK SEMPAT BERJABAT DAN MATA TAK SEMPAT BERTATAP PADA HARI YANG FITRI INI IJINKANLAH KAMI UNTUK MENYAMPAIKAN UCAPAN SELAMAT IDUL FITRI MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN.