Ada banyak diskusi dan perdebatan diantara para cedekiawan dan para professional dibidang media mengenai hakikat dari hubungan antara media dan ruang public (public sphere).[1] Televisi khususnya juga telah menjadi subyek diskusi terkait dengan isu - isu tentang hubungan antara media dan ruang public. Tulisan - tulisan dari Harrington,[2] Ratzke,[3] Lewis,[4] dan Rawnsley dan Ming[5] adalah beberapa contoh studi yang membahas tentang hubungan antara isu tersebut.
Namun demikian isu yang berkaitan dengan hubungan antara Negara dan televisi kurang mendapat perhatian dalam diskusi - diskusi mengenai media. Diskusi yang menyoroti hubungan antara televisi dan negara biasanya hanya merupakan sebuah bagian dari diskusi dengan tema yang lebih luas tentang hubungan media dan negara. Karya - karya Jamal,[6] Champlin dan Knoedler,[7] Moy et.al.,[8] Lynch et.al,[9] dan Jakobowicz[10] adalah contoh tulisan yang membahas subyek tersebut.
Tulisan ini mencoba untuk melihat hubungan antara televisi dengan Negara dan juga fungsi televisi sebagai public sphere di Indonesia. Pertama - tama bagian ini akan meneliti tentang hubungan antara TVRI dengan negara untuk memahami posisi media ini apakah mewakili suara pemerintah atau suara publik. Kemudian bagian ini juga akan meneliti lebih jauh tentang berbagai isu tentang televisi sebagai public sphere khususnya terkait dengan acara - acara TVRI.
Televisi dan Negara
Media elektronik seperti radio dan televisi awalnya beroperasi dalam domain badan usaha milik negara. Hal ini terkait dengan pandangan kuno bahwa gelombang radio terbatas dan mahalnya biaya pengoparasian sebuah stasiun penyiaran.[11] Sebagai contoh The British Broadcasting Corporation (BBC) didirikan atas dasar pertimbangan bahwa frekuensi radio adalah sumber daya alam yang terbatas sehingga harus digunakan secara hati - hati untuk kepentingan nasional dan mencegah dari adanya penggunaan yang berlebihan.[12] The Australia Broadcasting Corporation (ABC) yang operasionalnya dibiayai pemerintah Australia merupakan salah satu cikal bakal stasiun televisi di negara kangguru tersebut. Keterlibatan negara dalam pembiayaan dan pendirian stasiun televisi tersebut diyakini terkait dengan pemikiran bahwa penyelenggaraan siaran televisi masih terlalu mahal bagi swasta.[13] Hal ini menunjukkan bagaimana media elektronik seperti radio dan televisi begitu dekat dengan pemerintah. Atas nama rakyatnya pemerintah mendirikan dan mendukung lemabaga penyaiaran nasional atau publik.
Kedekatan hubngan antara media dengan Negara juga dibenarkan oleh Herman dan Chomsky yang menyatakan bahwa selain kedekatan media dengan kekuatan pasar, media juga ditengarai seringkali mempunyai ‘hubungan dekat dengan negara' dan ‘mereka menjadi sebuah alat untuk membentuk opini'.[14] Lebih lanjut, Jakobowicz juga mendukung pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa ‘negara...dan struktur yang berhubungan dengan Negara sangat sulit untuk melepaskan media'.[15] Hal ini tidak mengejutkan mengingat media memiliki kekuatan untuk membentuk opini public yang merupakan hal yang sangat penting bagi Negara.
Fenomena tersebut juga sangat jelas di ranah media Indonesia, terutama terkait dengan Televisi Republik Indonesia (TVRI). Lembaga penyiaran ini telah mempunyai sebuah hubungan yang sangat dekat dengan Negara sepanjang sejarahnya sejak tahun 1962. Meskipun pada awalnya merupakan bagian dari Yayasan Gelora Bung Karno di bawah kendali langsung Presiden dan kemudian dibentuk sebagai Yayasan TVRI namun akhirnya TVRI ‘direkrut' sebagai bagian dari Departemen Penerangan pada tahun 1966 meskipun status hukumnya masih tetap sebagai sebuah yayasan.[16] Menjadi sebuah yayasan di bawah kendali langsung Presiden saja sudah menjadi indikasi kedekatan terhadap pemerintah. Apalagi dengan dimasukkannya TVRI sebagai sebuah institusi yang merupakan bagian dari pemerintah tentu saja makin memperkuat hubungan tersebut. Alhasil, TVRI dianggap lebih mewakili suara pemerintah dibanding suaranya sendiri yang merupakan manifestasi dari suara public.[17]
Dengan dibubarkannya Departemen Penerangan pada tahun 1999 dimasa pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid, TVRI dibebaskan dari departemen tersebut. Meskipun demikian kondisi ini tidak serta merta membebaskan lembaga penyiaran ini dari kekuasaan pemerintah karena statusnya berubah menjadi Perusahaan Jawatan dibawah Menteri Keuangan dan supervisi dari sebuah badan pengawas yang bertanggung jawab kepada menteri yang sama.[18] Hanya setelah terbentuknya Undang - Undang Penyiaran tahun 2002 dan Peraturan Pemerintah No. 13/2005 akhirnya TVRI menjadi sebuah lembaga independen, sebuah lembaga penyiaran public. Namun dengan status barunya tersebut tetap saja belum sepenuhnya membebaskannya dari pengaruh pemerintah yang berkuasa karena peraturan yang ada tersebut masih mengandung unsur yang memungkinkan intervensi terhadap TVRI. Hal ini menunjukkan bahwa kedekatan hubungan antara televisi, khususnya TVRI, dengan pemerintah sangat jelas tergambar di ranah media Indonesia.
Televisi dan Public Sphere
Konsep tentang (public sphere) pada awalnya diperkenalkan oleh seorang filosof asal Jerman, Jürgen Habermas. Ia mendefinisikan public sphere sebagai ‘sebuah ruang dari lembaga dan praktek yang berada diantara kepentingan pribadi yang terkait dengan kehidupan sehari - hari dalam sebuah masyarakat sipil dengan kekuasaan Negara. Ia yakin bahwa keberadaan public sphere sangat penting bagi sebuah masyarakat yang demokratis.[19] Lebih lanjut Habermas menjelaskan bahwa public sphere terdiri dari ‘lembaga informasi dan debat politik ... termasuk lembaga - lembaga yang mewadahi diskusi politik.'[20] Lembaga informasi ini merujuk kepada media massa. Sementara lembaga yang mewadahi diskusi politik adalah parlemen, organisasi politik, pertemuan public, dan ranah public lainnya dimana terjadi debat social-politik. Namun tulisan ini hanya akan berfokus pada media massa, khususnya televise, sebagai sebuah lembaga informasi dan arena debat public.
Pandangan Habermas yang berhubungan dengan pentinya media dalam sebuah masyarakat demokratis didukung oleh O'Neil yang menyatakan bahwa ‘media ... sangatlah vital terhadap pembentukan dan vitalisal sebuah masyarakat sipil; tanpanya kebebasan berkomunikasi yang merupakan pondasi demokrasi akan lemah.'[21] Karena ‘hanya warga Negara yang punya informasi bisa menjadi seorang warga Negara yang demokratis'[22] dan ‘[media] memainkan sebuah peran yang sangat penting dalam menyebarkan informasi'[23] sehingga peran mereka sangat penting bagi demokrasi.
Argumen tersebut didukung oleh Randall yang menyatakan bahwa
Untuk berfungsinya demokrasi, masyarakat sipil membutuhkan akses terhadap informasi sebagai alat untuk mengetahui pilihan - pilihan politik. Sementara para politisi membutuhkan media untuk menyampaikan pandangan - pandangan mereka dan untuk berinteraksi dengan masyarakat. Media tidak berdiri sendiri dalam sebuah sistem sosial tetapi menyediakan saluran komunikasi para pelaku di dalamnya.[24]
Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa media sebagai bagian dari public sphere mempunyai dua fungsi yaitu sebagai sumber informasi dan sebagai tempat di mana warga Negara dapat melakukan perdebatan terhadap isu - isu yang menjadi perhatian mereka. Meskipun demikian kedua fungsi tersebut saling terkait dan sangat sulit untuk dibedakan karena dalam perdebatan juga terjadi pertukaran ide - ide dan informasi. Sehingga, penulis beranggapan bahwa media dapat dikatakan bertindak sebagai unsur dari public sphere ketika mereka menyebarkan informasi yang berkaitan concerns masyarakat atau ketika menyediakan ruang bagi perdebatan isu - isu public.
Sementara berkenaan dengan peran televisi sebagai public sphere telah ada beberapa studi yang telah dilakukan. Harrington, misalnya, mendiskusikan isu tentang public sphere di televisi Australia dengan mengambil obyek acara The Panel milik stasiun televisi Ten Networks. Ia menyimpulkan bahwa ‘progam tersebut mampu meningkatkan potensi dari debat ‘rasional-kritis' sehari - hari sebagai inti dari public sphere'.[25] Pendapat ini didukung oleh Kitley dengan merujuk kepada televisi dan public sphere di Indonesia. Ia menyatakan bahwa TVRI ‘membantu terciptanya public sphere yang makin luas.' [26]
Tetapi orang yang skeptis mempertanyakan efektifitas televisi dibandingkan dengan media cetak yang lebih mendalam liputan beritanya.[27] Hal ini mungkin karena sifat dari jurnalisme penyiaran yang cenderung singkat dan tidak mendalam karena keterbatasan waktu. Seperti dikatakan oleh pembawa acara Newshour di stasiun televise PBS, Robert McNeil yang mengatakan bahwa jurnalisme penyiaran ‘menjaga segala sesuatunya singkat, tidak mengganggu perhatian tetapi memberikan stimulasi konstan melalui keragaman, kekinian, aksi, dan pergerakan.[28]
Namun para pendukung televisi mempertahankan pendapat mereka dan meyakinkan tentang peran penting televisi sebagai public sphere.[29] Kellner, misalnya, menyatakan bahwa meskipun televisi mempunyai ‘kekuatan yang rendah ... TETAPI ... televisi, dan media komunikasi elektronik yang lain sedang menciptakan suatu public sphere bagi debat, diskusi, dan informasi.'[30] McNeil juga mencatat bahwa walaupun media cetak seperti surat kabar dapat menyajikan banyak berita tetapi kebanyakan pembaca hanya memperhatikan dan membaca yang disajikan secara mencolok saja. Sehingga dapat diajukan argumentasi bahwa peran televisi sebagai public sphere tetap penting dalam sebuah masyarakat demokratis yaitu sebagai sarana penyebaran informasi dan menciptakan arena bagi debat public.
Mengapa informasi begitu penting bagi demokrasi dan jenis informasi apa yang penting? Bagaimana informasi tersebut disebarkan melalui televisi? Dan debat public yang seperti apa dapat dilaksanakan di televisi? Merujuk pada pertanyaan pertama Junn menyatakan bahwa ‘pengetahuan politik adalah sebuah elemen penting dalam sebuah demokrasi'. Seorang pemilih yang mempunyai banyak informasi tidak hanya mampu memilih sesuai dengan keinginannya tetapi juga mampu melindungi kepentingan mereka.'[31] Sedangkan mengenai jenis informasi yang penting bagi demokrasi, Moy et. al. menyebut dua elemen yaitu informasi tentang berbagai organisasi dan kejadian - kejadian terkini.[32] Yang pertama menyangkut pengetahuan tentang struktur organisasi dan bagaimana organisasi politik berfungsi, sementara pengetahuan tentang kejadian terkini terkait dengan pemahaman terhadap para pemimpin dan tanggapan mereka terhadap isu - isu tersebut.
Dinyatakan bahwa program televisi seperti siaran berita dan talk show dapat melaksanakan peran tersebut. Program siaran berita adalah sebuah contoh dimana televisi berperan sebagai media penyebaran informasi. Sementara talk show seperti The Panel milik Ten Network mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber informasi dan arena bagi debat public. Hal ini membuktikan bahwa media elektronik seperti televise telah menjadi bagian penting dari sebuah masyarakat yang demokratis, yakni selaku public sphere.
Kebebasan Pers di Indonesia
Habermas mengatakan bahwa public sphere menerima kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam debat politik dan pengambilan keputusan.[33] Pendapat mengenai peran penting kebebasan pers dalam sebuah masyarakat demokratis juga dikemukakan oleh Jamal yang menyatakan bahwa ‘... sangatlah sulit untuk membayangkan adanya kehidupan berdemokrasi tanpa otonomi dari media'.[34] Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ini karena media memainkan peranan penting dalam menyebarkan informasi yang menghambat pemusatan kekuasaan dan memberikan bimbingan dengan interpretasi dari informasi yang disebarkan tersebut.[35] Sementara itu pendukung media yang lain terkait dengan isu mengenai public sphere bahkan menekankan bahwa sebuah masyarakat yang tidak ada kontroversi mengenai kebebasan berekspresi dan representasi adalah sebuah masyarakat yang sedang sekarat atau bahkan telah mati.[36] Maka hal ini makin menegaskan tentang peran penting kebebasan media dalam sebuah masyarakat demokratis.
Akan tetapi kebebasan media sebuah fenomena alam yang mudah untuk diciptakan dan dijaga karena potensi kekuatannya dalam mempengaruhi opini public. Sehingga selain publik banyak pihak lain seperti pemerintah, partai politik, dan organisasi swasta juga mempunyai kepentingan untuk menguasai media bagi kepentingan mereka. Pemerintah, misalnya, menganggap bahwa penempatan media dalam kekuasaan adalah sebuah prasyarat konstruktif yang turut andil bagi suksesnya proyek nasional.[37] Sementara itu partai politik dan lembaga - lembaga swasta menggunakan media untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi mereka. Alhasil kebebasan media atau pers adalah hal yang sangat sulit untuk dibuat dan dijaga demi kepentingan public karena adanya berbagai kepentingan yang saling tarik menarik tersebut.
Sementara mengenai kebebasan media di Indonesia, terutama dalam bidang pertelevisian, dapat dikatakan bahwa media ini pada mulanya digunakan sebagai ‘alat pemerintah' namun dalam perkembangannya kondisi tersebut telah berubah dan dewasa ini berangsur - angsur menjadi bagian dari unsur public sphere. Pada masa awal terbentuknya TVRI pada tahun 1962, lembaga penyiaran ini berada di bawah Yayasan Gelora Bung Karno yang dikontrol langsung oleh Presiden untuk menyiarkan Asian Games IV di Jakarta. Setelah pesta olah raga Asia tersebut usai, TVRI diserahkan kepada Departemen Penerangan bersama - sama dengan RRI untuk menyuarakan suara pemerintah.[38] Kondisi ini terus berlanjut selama pemerintahan Presiden Soeharto dari tahun 1966 - 1998 yang dikenal sebagai masa Orde Baru. Dinyatakan bahwa ‘lembaga penyaiaran milik pemerintah yaitu TVRI dan RRI secara resmi ditugaskan untuk memproduksi berita dan menjalankan jurnalisme penyiaran yang terbatas hanya untuk kepentingan propaganda pemerintah.[39] Selama periode ini televisi berada dalam monopoli pemerintah terlepas dengan kemunculan stasiun televisi swasta pada tahun 1989.
Tetapi seiring dengan mundurnya Presiden Soeharto pada 1998, yang merupakan titik akhir masa Orde Baru dan titik awal masa Reformasi, kondisi media di Indonesia mengalami perubahan yang radikal.[40] Kemunculan lingkungan media yang lebih bebas tersebut juga dibenarkan oleh Idris & Gunaratne yang mengatakan bahwa ‘pada awal 1998 sebuah kebijakan media yang lebih bebas tengah terbentuk di Indonesia'.[41] Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa peraturan baru mengenai media telah menghapuskan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari Undang - Undang Pers dan secara otomatis membuka jalan bagi munculnya kembali pers tanpa ijin penerbitan. [42]
Sebagai akibat dari deregulasi tersebut Kitley mencatat bahwa terdapat lebih dari 1200 peijinan baru yang dikeluarkan bagi media cetak pada tahun 1999 dan media elektronik juga menikmati hal yang sama secara proporsional.[43] Pembebasan terhadap media elektronik, khususnya televisi, juga terjadi dengan ditandai oleh penerbitan perijinan baru bagi stasiun radio dan televisi. Dilaporkan bahwa ada sekitar 1000 surat ijin baru bagi stasiun radio komersial dan lima buah bagi stasiun televisi swasta dalam waktu dua tahun.[44] Stasiun televisi swasta yang baru muncul adalah Metro TV, Lativi, Global TV, TransTV, and TV-7. Disamping itu Undang - Undang Penyiaran tahun 2000 memperkuat argument tentang kondisi kebebasan tersebut karena peraturan tersebut merubah status TVRI dari sebuah lembaga penyiaran pemerintah menjadi sebuah lembaga penyiaran publik.[45]
Fakta - fakta tersebut telah menunjukkan bagaimana kebebasan media telah berubah di Indonesia, dari yang semula sangat dikekang oleh pemerintah menjadi pers bebas. Baik media cetak maupun elektronik sama - sama menikmati kebebasan tersebut dan bahkan TVRI yang semula merupakan media milik pemerintahpun berubah menjadi sebuah lembaga penyiaran publik. Tetapi bagaimanakah proses tersebut bisa terjadi? Posting akan datang penulis akan mencoba membahas perkembangan TVRI dari awal berdiri sampai masa kini, untuk memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap isu tersebut secara keseluruhan.
[1] Harrington, Stephen, ‘The Democracy of Conversation: The Panel and The Public Sphere', Media International Australia incorporating Culture and Policy, No. 116, August 2005, p. 75.
[2] Harrington, Stephen, ‘The Democracy of Conversation'.
[3] Ratzke, Dietrich. ‘From movable print'.
[4] Lewis, Tom, ‘Democracy, Free Speech and TV: the case of the BBC and the ProLife Alliance', Web JCLI, Issue 5, 2004, URL: http://webjcli.ncl.ac.uk/2004/issue5/tlewis5.html (Accessed 10 August 2006).
[5] Rawnsley, Gary D., and Ming-Yeh Rawnsley. ‘Public television and empowerment in Taiwan.‘ Pacific Affairs, Vol. 78, No.1, Spring 2005.
[6] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 262 - 263.
[7] Champlin, P., Dell and Knoedler, T., Janet, ‘The Media, the News, and Democracy: Revisiting the Dewey-Lippman Debate', Journal of Economic Issues, Vol. XL, No. 1, March 2006.
[8] Moy et.al., ‘Knowledge or Trust? Investigating Linkages between Media Reliance and Participation, Communication Research', Vol. 32 No. 1, February 2005.
[9] Lynch, G., Patrick, ‘A Little Knowledge Is a Dangerous Thing: What We Know about the Role of the Media in State Politics', Perspectives on Political Science, Vol. 92, No. 2, Spring 2000.
[10] Jakobowicz, Karol, ‘Media Within and Without the State: Press Freedom in Eastern Europe', Journal of Communication, Vol. 45, No. 4, 1995.
[11] Ratzke, Dietrich. 'From movable print'.
[12] Tracey, M., The Decline and Fall of Public Service Broadcasting, Oxford University Press, 1998, 53.
[13] Curthoys, Ann, Australia's first cold war, 1945-1959 v2: Better dead than red, George Allen and Unwin, 1984, 123.
[14] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 264.
[15] Jakobowicz, Karol, ‘Media Within and Without the State', 126.
[16] Kitley, Philip, ‘Television, Nation, and Culture in Indonesia', Ohio University for International Studies, South East Series, No. 104, Athens, 2000, 34 - 35.
[17] Budiman, Andy, ‘Indonesia's Broadcasting of today'.
[18] Kitley, Philip (Ed.), Television, Regulation and Civil Society in Asia, RoutledgedCurzon, London, 2003, p. 111.
[19] Habermas, Jurgen cited in Kellner, Douglas, ‘Habermas, the Public Sphere, and Democracy: A Critical Intervention', URL: http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html (Accessed 9 August 2006).
[20] Kellner, Douglas, ‘Habermas, the Public Sphere', and Democracy: A Critical Intervention', URL: http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/kellner.html (Accessed 9 August 2006).
[21] O'Neil cited in Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.
[22] Ratzke, Dietrich, ‘From movable print to pay TV'.
[23] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.
[24] Randall cited in Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.
[25] Harrington, Stephen, ‘The Democracy of Conversation', 75.
[26] Kitley, Philip, ‘Televisi Bangsa Baru: Television, Reformasi and Renewal in Indonesia' Media International Australia incorporating Culture and Policy, No. 104 - August 2002, 93.
[27] Moy et.al., ‘Knowledge or Trust?', 63.
[28] Lynch, G., Patrick, ‘A Little Knowledge Is', 94.
[29] Culbertson & Stempel cited in Moy et.al., ‘Knowledge or Trust?', 63.
[30] Kellner, Douglas, ‘Habermas, the Public Sphere', [emphasis in original].
[31] Junn cited in Moy et.al., ‘Knowledge or Trust?', 63.
[32] Moy et.al., ‘Knowledge or Trust?', 63.
[33] Kellner, Douglas, ‘Habermas, the Public Sphere', [emphasis added]
[34] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.
[35] Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.
[36] Keane cited in Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 263.
[37] Caspi and Limor cited in Jamal, Amal, ‘State-Building and Media', 264.
[38] Kitley, Philip, ‘Televisi Bangsa Baru', 22 - 23.
[39] Budiman, Andy, ‘Indonesia's Broadcasting of today'.
[40] Kitley, Philip, ‘Televisi Bangsa Baru', 93.
[41] Idris, Naswil & Gunaratne, Shelton A., ‘Indonesia', in Gunaratne, Shelton A., Handbook of the Media in Asia, New Delhi; Thousand Oaks, California: Sage Publications, 2000, 285.
[42] Idris, Naswil & Gunaratne, Shelton A., ‘Indonesia', in Gunaratne, Shelton A., Handbook of the Media, 286.
[43] Kitley, Philip, ‘Televisi Bangsa Baru', 93.
[44] Masindo cited in Kitley, Philip, ‘Television, Nation, And Culture', 2000, 215.
[45] Undang - Undang Republik, Chapter 3, Article 14.
5 comments:
Mas Sulis...terima kasih sudah kasih komentar di blogku dan juga sudah memasukkan link blogku di dalam blogmu....
Ngomong2 berapa sekarang buntutnya...
Anakku satu, cowok, umur 8 tahun namanya Zidan Adiwidyatama. Blognya berubah penampilan ya? agak lain tapi makin cakep lho..Kalo aku sendiri baru mulai belajar ngeblog, jadi mohon maklum kalo isinya masih belum jelas juntrungnya...he..he...
Yang pasti Mbak DM ngga akan mungkin menemukan puisi atau uneg2 yang penuh filsafat dari pengalaman sehari2 seperti punya Mbak DM dan teman2 lain...
Hore...dah berhasil buka sekarang. Sip, nulis terus ya.
Makasih banget ya sudah menyempatkan masuk blogku. Aq beberapa waktu yg lalu baca2 blog suamimu dan kasih comment cuma aq lupa ngga ngasih bookmark jadi ngga bisa masuk lagi lha wong aq lupa alamatnya. So, boleh dong minta url-nya sekali lagi. Tx
wow.. informatif sekali, Pak.. saya jadi bisa lihat referensi-referensi yang Bapak pakai dan membaca sendiri :)
Post a Comment