Wednesday, April 1, 2009

WAJAH LAYAR KACA KITA: SINETRON...SINETRON...SINETRON...(TVRI SEBAGAI SEBUAH ALTERNATIF LAIN?)

Tadi malam sebenarnya badanku terasa capek banget makanya aku berniat tidur lebih awal, boleh dibilang sore malah. Tetapi ketika aku berbaring dan berusaha untuk tidur mataku ini tidak mau juga terpejam. Setelah hampir satu jam akhirnya aku keluar dari kamar dan menyalakan televisi. Ketika remote aku arahkan ke televisi di depanku dan aku on-kan yang muncul pertama kali adalah adegan pertengkaran seorang wanita dengan seorang lelaki. Aku tidak tahu persis pertengkaran mengenai apa dan antara siapa dengan siapa karena aku memang tidak pernah mengikuti serial sinetron tersebut. Karena tidak tertarik maka aku pindah ke channel lain namun yang aku temui acara yang serupa, sebuah sinetron. Ah di stasiun TV lain pasti berbeda pikirku, maka aku kembali menekan tombol remote dan ...whalaaa...harapanku sirna karena ternyata yang aku temukan adalah sebuah sinetron juga. Setelah browsing beberapa saat ke semua stasiun televisi akhirnya aku menemukan sebuah acara bincang - bincang di TVRI. Kemasanannya memang tidak begitu menarik, maksudku penataan setting ruangannya terlihat agak kaku atau boleh dibilang jadul. Sangat berbeda dengan setting acara sejenis di stasiun televisi swasta. Namun karena nara sumbernya cukup terkenal dibidangnya dan topiknya menarik akhirnya aku ikuti acara bincang - bincang tersebut sampai selesai.

Bertolak dari hal tersebut aku jadi teringat sebuah statement tentang akibat dari masuknya Neo - Liberalisme dalam pelayanan publik, termasuk siaran radio dan televisi, dimana acara - acara radio dan televisi dianggap sebagai komoditas yang dijual. Akibatnya semua acara bersandar pada pasar. Hal ini menyebabkan munculnya produksi acara - acara hiburan populer yang tidak berkualitas (‘popular, low-brow entertainment’) yang berpusat pada APA YANG DIINGINKAN PASAR dan bukan pada APA YANG DIBUTUHKAN PASAR. Alhasil, kalau kita perhatikan siaran - siaran televisi pada stasiun televisi swasta yang ada saat ini semua memiliki kemiripan dan yang paling dominan adalah sinetron. Semua stasiun televisi swasta memiliki sinetron unggulannya masing - masing dan dalam satu hari ada beberapa judul yang ditayangkan. Memang benar ada program lain akan tetapi menurut pendapatku program tersebut tidak lebih bermutu dari sinetron - sinetron tadi seperti infotainment atau talkshow ringan.

Dengan kondisi seperti ini sebenarnya TVRI, sebagai sebuah lembaga penyiaran publik (public broadcaster), dituntut untuk memainkan perannya secara lebih aktif guna "meng-counter" akibat buruk dari siaran - siaran yang tidak bermutu tadi dengan menayangkan program yang lebih menarik dan bermutu. Memang sebuah tugas yang sangat berat karena secara finansial TVRI kalah jauh dengan counterpart-nya yakni stasiun TV swasta yang budgetnya didanai oleh iklan. Tetapi bukankah biaya produksi sebuah program yang menarik dan bermutu tidaklah harus mahal? Artinya disini yang sangat menentukan adalah kreatifitas dalam menggali ide - ide segar dari para punggawa TVRI sendiri untuk menghasilkan program yang menarik, bermutu tetapi berbiaya rendah. Bukankah serial Losmen dan Jendela Rumah Kita sangat menyedot perhatian pemirsa Indonesia kala itu? Padahal kalau tidak salah keduanya tidak memerlukan budget yang tinggi. Barangkali ini adalah tantangan untuk seluruh punggawa TVRI. Dan juga kesadaran seluruh pemirsa televisi di negeri ini untuk kembali melihat acara - acara TVRI kita tercinta. Sekilas acara - acaranya tidak menarik memang, tetapi cobalah untuk menyimak beberapa saat siapa tahu dibalik kemasannya yang "kurang seksi" tersebut ada hal yang lain yang tidak kita temukan di program televisi swasta.
Terkadang kita tidak tahu yang kita mau dan inginkan dan kita akhirnya hanya tahu setelah melihatnya. Jadi?...Mari kita rame - rame nonton TVRI, siapa tahu kita akam menemukan sesuatu yang lain di sana... Hidup TVRI....!


Referensi:

Curthoys, Ann & Merritt, John (eds). ‘The Getting of Television: dilemmas in ownership, control and culture, 1941-56’. Better Deat than Red: Austrlia’s First Cold War: 1945-1859. Vol. 2. Allen & Unwin. Sydney. 1986.